Kamis, 24 November 2016
Selasa, 08 November 2016
TUGAS KE-4 KEADILAN DALAM BISNIS
TUGAS KE-4
KEADILAN DALAM BISNIS
Dalam
kaitan dengan keterlibatan sosial, tanggung jawab sosial perusahaan berkaitan
langsung dengan penciptaan atau perbaikan kondisi sosial ekonomi yang semakin
sejahtera dan merata. Tidak hanya dalam pengertian bahwa terwujudnya keadilan
akan menciptakan stabilitas sosial yang akan menunjang kegiatan bisnis,
melainkan juga dalam pengertian bahwa sejauh prinsip keadilan dijalankan akan
lahir wajah bisnis yang lebih baik dan etis. Tidak mengherankan bahwa hingga
sekarang keadilan selalu menjadi salah satu topic penting dalam etika bisnis.
a.
Teori keadilan Aristoteles Atas pengaruh Aristoteles secara tradisional
keadilan dibagi menjadi tiga :
1.
Keadilan Legal
Keadilan
legal yaitu perlakuan yang sama terhadap semua orang sesuai dengan hukum yang
berlaku. Itu berarti semua orang harus dilindungi dan tunduk pada hukum yang
ada secara tanpa pandang bulu. Keadilan legal menyangkut hubungan antara individu
atau kelompok masyarakat dengan negara. Intinya adalah semua orang atau
kelompok masyarakat diperlakukan secara sama oleh negara dihadapan dan
berdasarkan hukum yang berlaku. Semua pihak dijamin untuk mendapatkan perlakuan
yang sama sesuai dengan hukum yang berlaku.
2.
Keadilan Komutatif
Keadilan
ini mengatur hubungan yang adil antara orang yang satu dan yan lain atau antara
warganegara yang satu dengan warga negara lainnya. Keadilan komutatif
menyangkut hubungan horizontal antara warga yang satu dengan warga yang lain.
Dalam bisnis, keadilan komutatif juga disebut atau berlaku sebagai keadilan
tukar. Dengan kata lain, keadilan komutatif menyangkut pertukaran yang adil
antara pihak-pihak yang terlibat. Prinsip keadilan komutatif menuntut agar
semua orang menepati apa yang telah dijanjikannya, mengembalikan pinjaman,
memberi ganti rugi yang seimbang, memberi imbalan atau gaji yang pantas, dan
menjual barang dengan mutu dan harga yang seimbang.
3.
Keadilan Distributif
Prinsip
dasar keadilan distributif yang dikenal sebagai keadilan ekonomi adalah
distribusi ekonomi yang merata atau yang dianggap adil bagi semua warga negara.
Keadilan distributif punya relevansi dalam dunia bisnis, khususnya dalam
perusahaan. Berdasarkan prinsip keadilan ala Aristoteles, setiap karyawan harus
digaji sesuai dengan prestasi, tugas, dan tanggung jawab yang diberikan
kepadanya. Pandangan-pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa kita dapatkan
dalam karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Lebih khususnya,
dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan yang
berdasarkan filsafat umum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari
filsafat hukumnya, “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan
keadilan”. Yang sangat penting dari pandanganya ialah pendapat bahwa keadilan
mesti dipahami dalam pengertian kesamaan. Namun Aristoteles membuat pembedaan
penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik
mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Inilah yang sekarang biasa kita
pahami tentang kesamaan dan yang kita maksudkan ketika kita mengatakan bahwa
semua warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan proporsional memberi tiap
orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan
sebagainya. Dari pembedaan ini Aristoteles menghadirkan banyak kontroversi dan
perdebatan seputar keadilan. Lebih lanjut, dia membedakan keadilan menjadi
jenis keadilan distributif dan keadilan korektif. Yang pertama berlaku dalam
hukum publik, yang kedua dalam hukum perdata dan pidana. Kedailan distributif
dan korektif sama-sama rentan terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan
hanya bisa dipahami dalam kerangkanya. Dalam wilayah keadilan distributif, hal
yang penting ialah bahwa imbalan yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang
sama rata. Pada yang kedua, yang menjadi persoalan ialah bahwa ketidaksetaraan
yang disebabkan oleh, misalnya, pelanggaran kesepakatan, dikoreksi dan
dihilangkan. Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi,
honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam
masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah bahwa apa
yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain
berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh
jadi merupakan distribusi yang sesuai dengan nilai kebaikannya, yakni nilainya
bagi masyarakat. Di sisi lain, keadilan korektif berfokus pada pembetulan
sesuatu yang salah. Jika suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan,
maka keadilan korektif berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak
yang dirugikan jika suatu kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang
sepantasnya perlu diberikan kepada si pelaku. Bagaimanapun, ketidakadilan akan
mengakibatkan terganggunya “kesetaraan” yang sudah mapan atau telah terbentuk.
Keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan tersebut. Dari uraian
ini nampak bahwa keadilan korektif merupakan wilayah peradilan sedangkan
keadilan distributif merupakan bidangnya pemerintah. Dalam membangun
argumennya, Aristoteles menekankan perlunya dilakukan pembedaan antara vonis
yang mendasarkan keadilan pada sifat kasus dan yang didasarkan pada watak
manusia yang umum dan lazim, dengan vonis yang berlandaskan pandangan tertentu
dari komunitas hukum tertentu. Pembedaan ini jangan dicampuradukkan dengan
pembedaan antara hukum positif yang ditetapkan dalam undang-undang dan hukum
adat. Karena, berdasarkan pembedaan Aristoteles, dua peni laian yang terakhir
itu dapat menjadi sumber pertimbangan yang hanya mengacu pada komunitas
tertentu, sedangkan keputusan serupa yang lain, kendati diwujudkan dalam bentuk
perundang-undangan, tetap merupakan hukum alamjika bisa didapatkan dari fitrah
umum manusia.
b.
Teori Keadilan Adam Smith
Pada
teori keadilan Aristoteles, Adam Smith hanya menerima satu konsep atau teori
keadilan yaitu keadilan komutatif. Alasannya, yang disebut keadilan
sesungguhnya hanya punya satu arti yaitu keadilan komutatif yang menyangkut
kesetaraan, keseimbangan, keharmonisan hubungan antara satu orang atau pihak
dengan orang atau pihak lain.
1.
Prinsip No Harm
Prinsip
keadilan komutatif menurut Adam Smith adalah no harm, yaitu tidak merugikan dan
melukai orang lain baik sebagai manusia, anggota keluarga atau anggota
masyarakat baik menyangkut pribadinya, miliknya atau reputasinya. Pertama,
keadilan tidak hanya menyangkut pemulihan kerugian, tetapi juga menyangkut
pencegahan terhadap pelanggaran hak dan kepentingan pihak lain. Kedua,
pemerintah dan rakyat sama-sama mempunyai hak sesuai dengan status sosialnya
yang tidak boleh dilanggar oleh kedua belah pihak. Pemerintah wajib menahan
diri untuk tidak melanggar hak rakyat dan rakyat sendiri wajib menaati
pemerintah selama pemerintah berlaku adil, maka hanya dengan inilah dapat
diharapkan akan tercipta dan terjamin suatu tatanan sosial yang harmonis.
Ketiga, keadilan berkaitan dengan prinsip ketidakberpihakan (impartiality),
yaitu prinsip perlakuan yang sama didepan hukum bagi setiap anggota masyarakat.
2.
Prinsip Non-Intervention
Disamping
prinsip no harm, juga terdapat prinsip no intervention atau tidak ikut campur
dan prinsip perdagangan yang adil dalam kehidupan ekonomi. Prinsip ini menuntut
agar demi jaminan dan penghargaan atas hak dan kepentingan setiap orang, tidak
seorangpun diperkenankan untuk ikut campur tangan dalam kehidupan dan kegiatan
orang lain.campur tangan dalam bentuk apapun akan merupakan pelanggaran
terhadap hak orang tertentu yang merupakan suatu harm (kerugian) dan itu
berarti telah terjadi ketidakadilan.
3.
Prinsip Keadilan Tukar
Prinsip
keadilan tukar atau prinsip pertukaran dagang yang fair, terutama terwujud dan
terungkap dalam mekanisme harga dalam pasar. Dalam keadilan tukar ini, Adam
Smith membedakan antara harga alamiah dan harga pasar atau harga aktual. Harga
alamiah adalah harga yang mencerminkan biaya produksi yang telah dikeluarkan
oleh produsen, yaitu terdiri dari tiga komponen biaya produksi berupa upah
buruh, keuntungan untuk pemilik modal, dan sewa. Sedangkan harga pasar atau harga
aktual adalah harga yang aktual ditawarkan dan dibayar dalam transaksi dagang
didalam pasar. c. Keadilan sosial ala John Rawls John Rawls dalam bukunya a
theory of justice menjelaskan teori keadilan sosial sebagai the difference
principle dan the principle of fair equality of opportunity. Inti the
difference principle, adalah bahwa perbedaan sosial dan ekonomis harus diatur
agar memberika manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang
beruntung. Istilah perbedaan sosil-ekonomis dalam prinsip perbedaan menuju pada
ketidaksamaan dalam prospek seorang untuk mendapatkan unsur pokok
kesejahteraan, pendapatan, dan otoritas. Sementara itu, the principle of fair
equality of opportunity menunjukkan pada mereka yang paling kurang mempunyai
peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapat dan otoritas. Mereka
inilah yang harus diberi perlindungan khusus. Rawls mengerjakan teori mengenai
prinsip-prinsip keadilan terutama sebagai alternatif bagi teori utilitarisme
sebagaimana dikemukakan Hume, Bentham dan Mill. Rawls berpendapat bahwa dalam
masyarakat yang diatur menurut prinsip-prinsip utilitarisme, orang-orang akan
kehilangan harga diri, lagi pula bahwa pelayanan demi perkembangan bersama akan
lenyap. Rawls juga berpendapat bahwa sebenarnya teori ini lebih keras dari apa
yang dianggap normal oleh masyarakat. Memang boleh jadi diminta pengorbanan
demi kepentingan umum, tetapi tidak dapat dibenarkan bahwa pengorbanan ini
pertama-tama diminta dari orang-orang yang sudah kurang beruntung dalam
masyarakat. Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang
sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling
lemah. Hal ini terjadi kalau dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi
ketidaksamaan menjamin maximum minimorum bagi golongan orang yang paling lemah.
Artinya situasi masyarakat harus sedemikian rupa sehingga dihasilkan untung
yang paling tinggi yang mungkin dihasilkan bagi golongan orang-orang kecil.
Kedua, ketidaksamaan diikat pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua orang.
Maksudnya supaya kepada semua orang diberikan peluang yang sama besar dalam
hidup. Berdasarkan pedoman ini semua perbedaan antara orang berdasarkan ras,
kulit, agama dan perbedaan lain yang bersifat primordial, harus ditolak. Lebih
lanjut John Rawls menegaskan bahwa maka program penegakan keadilan yang
berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu,
pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling
luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur
kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi
keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang,
baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung. Dengan
demikian, prisip berbedaan menuntut diaturnya struktur dasar masyarakat
sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama
kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-orang
yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan
untuk dua hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi
ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-institusi
sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua, setiap aturan harus
memosisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan untuk
mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum lemah.
d.
Prinsip Keadilan Distributif Rawls
Rawls
merumuskan dua prinsip keadilan distributif, sebagai berikut:
a.
the greatest equal principle, bahwa setiap orang harus memiliki hak yang sama
atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua
orang. Ini merupakan hal yang paling mendasar (hak azasi) yang harus dimiliki
semua orang. Dengan kata lain, hanya dengan adanya jaminan kebebasan yang sama
bagi semua orang maka keadilan akan terwujud (Prinsip Kesamaan Hak). Prinsip
the greatest equal principle, menurut penulis, tidak lain adalah ”prinsip
kesamaan hak” merupakan prinsip yang memberikan kesetaraan hak dan tentunya
berbanding terbalik dengan beban kewajiban yang dimiliki setiap orang (i.c.
para kontraktan). Prinsip ini merupakan ruh dari azas kebebasan berkontrak.
b.
ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga perlu diperhatikan
azas atau prinsip berikut: (1) the different principle, dan (2) the principle
of fair equality of opportunity. Prinsip ini diharapkan memberikan keuntungan
terbesar bagi orang-orang yang kurang beruntung, serta memberikan penegasan
bahwa dengan kondisi dan kesempatan yang sama, semua posisi dan jabatan harus
terbuka bagi semua orang (Prinsip Perbedaan Obyektif). Prinsip kedua, yaitu
“the different principle” dan ”the principle of (fair) equality of
opportunity”, menurut penulis merupakan “prinsip perbedaan obyektif”, artinya
prinsip kedua tersebut menjamin terwujudnya proporsionalitas pertukaran hak dan
kewajiban para pihak, sehingga secara wajar (obyektif) diterima adanya
perbedaan pertukaran asalkan memenuhi syarat good faith and fairness (redelijkheid
en billijkheid). Dengan demikian, prinsip pertama dan prinsip kedua tidak dapat
dipisahkan satu dengan lainnya. Sesuai dengan azas proprosionalitas, keadilan
Rawls ini akan terwujud apabila kedua syarat tersebut diterapkan secara
komprehensif. Dengan penekanannya yang begitu kuat pada pentingnya memberi
peluang yang sama bagi semua pihak, Rawls berusaha agar keadilan tidak terjebak
dalam ekstrem kapitalisme di satu pihak dan sosialisme di lain pihak. Rawls
mengatakan bahwa prinsip (1) yaitu the greatest equal principle, harus lebih
diprioritaskan dari prinsip (2) apabila keduanya berkonflik. Sedang prinsip
(2), bagian b yaitu the principle of (fair) equality of opportunity harus lebih
diprioritaskan dari bagian a yaitu the different principle. Keadilan harus
dipahami sebagai fairness, dalam arti bahwa tidak hanya mereka yang memiliki
bakat dan kemampuan yang lebih baik saja yang berhak menikmati pelbagai manfaat
sosial lebih banyak, tetapi keuntungan tersebut juga harus membuka peluang bagi
mereka yang kurang beruntung untuk meningkatkan prospek hidupnya. Dalam
kaitannya dengan hal tersebut, pertanggungjawaban moralitas ”kelebihan” dari
mereka yang beruntung harus ditempatkan pada ”bingkai kepentingan” kelompok
mereka yang kurang beruntung. “The different principle” tidak menuntut manfaat
yang sama (equal benefits) bagi semua orang, melainkan manfaat yang sifatnya
timbal balik (reciprocal benefits), misalnya, seorang pekerja yang terampil
tentunya akan lebih dihargai dibandingkan dengan pekerja yang tidak terampil.
Disini keadilan sebagai fairness sangat menekankan azas resiprositas, namun
bukan berarti sekedar ”simply reciprocity”, dimana distribusi kekayaan
dilakukan tanpa melihat perbedaan-perbedaaan obyektif di antara anggota
masyarakat. Oleh karenanya, agar terjamin suatu aturan main yang obyektif maka
keadilan yang dapat diterima sebagai fairness adalah pure procedural justice,
artinya keadilan sebagai fairness harus berproses sekaligus terefleksi melalui
suatu prosedur yang adil untuk menjamin hasil yang adil pula. Terkait dengan
kompleksitas hubungan kontraktual dalam dunia bisnis, khususnya terkait dengan
keadilan dalam kontrak, maka berdasarkan pikiran-pikiran tersebut di atas kita
tidak boleh terpaku pada pembedaan keadilan klasik. Artinya analisis keadilan
dalam kontrak harus memadukan konsep kesamaan hak dalam pertukaran (prestasi –
kontra prestasi) sebagaimana dipahami dalam konteks keadilan komutatif maupun
konsep keadilan distributif sebagai landasan hubungan kontraktual. Memahami
keadilan dalam kontrak tidak boleh membawa kita kepada sikap monistic (paham
tunggal), namun lebih dari itu harus bersikap komprehensif. Dalam keadilan
komutatif yang menjadi landasan hubungan antara person, termasuk kontrak,
hendaknya tidak dipahami sebagai kesamaan semata karena pandangan ini akan
membawa ketidakadilan ketika dihadapkan dengan ketidakseimbangan para pihak
yang berkontrak. Dalam keadilan komutatif didalamnya terkandung pula makna
distribusi-proporsional. Demikian pula dalam keadilan distributif yang
dipolakan dalam hubungan negara dengan warga negara, konsep
distribusi-proporsional yang terkandung didalamnya dapat ditarik ke perspektif
hubungan kontraktual para pihak.
e.
Jalan Keluar atas Masalah Ketimpangan Ekonomi
Jalan
keluar untuk memecahkan persoalan perbedaan dan ketimpangan ekonomi dan sosial
yang antara lain disebabkan oleh pasar adalah bahwa disamping menjamin
kebebasan yang sama bagi semua, negara dituntut untuk mengambil langkah dan
kebijaksanaan khusus tertentu yang secara khusus dimaksudkan untuk membantu
memperbaiki keadaan sosial dan ekonomi kelompok yang secara objektif tidak
beruntung bukan karena kesalahan mereka sendiri. Langkah atau kebijaksanaan
khusus ini memang hanya dimaksudkan untuk kelompok yang memang atas kemampuan
mereka sendiri tidak bisa memperbaiki kondisi sosial dan ekonomi mereka. Jadi
jalan keluar yang diajukan atas ketimpangan ekonomi adalah dengan mengandalkan
kombinasi mekanisme pasar dan kebijaksanaan selektif pemerintah yang khusus
ditujukan untuk membantu kelompok yang secara objektif tidak mampu memanfaatkan
peluang pasar secara maksimal.
SUMBERhttps://m31ly.wordpress.com/2009/11/13/6/
TUGAS KE-3 BISNIS SEBUAH ETIKA
TUGAS KE-3
BISNIS SEBUAH ETIKA
Etika bisnis
merupakan cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan
individu, perusahaan dan juga masyarakat. Etika Bisnis dalam suatu perusahaan
dapat membentuk nilai, norma dan perilaku karyawan serta pimpinan dalam
membangun hubungan yang adil dan sehat dengan pelanggan/mitra kerja, pemegang saham,
masyarakat.
Perusahaan
meyakini prinsip bisnis yang baik adalah bisnis yang beretika, yakni bisnis
dengan kinerja unggul dan berkesinambungan yang dijalankan dengan mentaati
kaidah-kaidah etika sejalan dengan hukum dan peraturan yang berlaku.
Etika
Bisnis dapat menjadi standar dan pedoman bagi seluruh karyawan termasuk
manajemen dan menjadikannya sebagai pedoman untuk melaksanakan pekerjaan
sehari-hari dengan dilandasi moral yang luhur, jujur, transparan dan sikap yang
profesional.
Tiga
pendekatan dasar dalam merumuskan tingkah laku etika bisnis, yaitu :
- Utilitarian Approach : setiap tindakan harus didasarkan pada konsekuensinya. Oleh karena itu, dalam bertindak seseorang seharusnya mengikuti cara-cara yang dapat memberi manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat, dengan cara yang tidak membahayakan dan dengan biaya serendah-rendahnya.
- Individual Rights Approach : setiap orang dalam tindakan dan kelakuannya memiliki hak dasar yang harus dihormati. Namun tindakan ataupun tingkah laku tersebut harus dihindari apabila diperkirakan akan menyebabkan terjadi benturan dengan hak orang lain.
- Justice Approach : para pembuat keputusan mempunyai kedudukan yang sama, dan bertindak adil dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan baik secara perseorangan ataupun secara kelompok.
Etika
bisnis yang harus dipahami dan dilakukan para profesional, antara lain:[1]
- Sebutkan nama lengkap
Dalam
situasi berbisnis, mitra sebaiknya menyebutkan nama lengkap saat berkenalan.
Namun jika namanya terlalu panjang atau sulit diucapkan, akan lebih baik jika
sedikit menyingkat.
- Berdirilah saat memperkenalkan diri
Berdiri
saat mengenalkan diri akan menegaskan kehadiran mitra. Jika kondisinya tidak
memungkinkan untuk berdiri, setidaknya mundurkan kursi, dan sedikit membungkuk
agar orang lain menilai positif kesopanan motra.
- Ucapkan terima kasih secukupnya
Dalam
percakapan bisnis dengan siapapun, bos atau mitra perusahaan, hanya perlu
mengucapkan terima kasih satu atau dua kali. Jika mengatakannya berlebihan,
orang lain akan memandang kalau mitranya sangat memerlukannya dan sangat perlu
bantuan.
- Kirim ucapan terima kasih lewat email setelah pertemuan bisnis
Setelah
mitra menyelesaikan pertemuan bisnis, kirimkan ucapan terima kasih secara
terpisah ke email pribadi rekan bisnis Anda. Pengiriman lewat email sangat
disarankan, mengingat waktu tibanya akan lebih cepat.
- Jangan duduk sambil menyilang kaki
Tak
hanya wanita, pria pun senang menyilangkan kakinya saat duduk. Namun dalam
kondisi kerja, posisi duduk seperti ini cenderung tidak sopan. Selain itu,
posisi duduk seperti ini dapat berdampak negatif pada kesehatan.
- Tuan rumah yang harus membayar
Jika
mengundang rekan bisnis untuk makan di luar, maka sang mitralah yang harus membayar
tagihan. Jika sang mitra seorang perempuan, sementara rekan bisnis atau klien,
laki-laki, ia tetap harus menolaknya. Dengan mengatakan bahwa perusahaan yang
membayarnya, bukan uang pribadi.
Prinsip-prinsip
Etika bisnis
A.
Prinsip-prinsip menurut Coux Round Table
-
Tanggung jawab dalam hal yang dikerjakan
-
Dalam aspek berbisnis harus menuju inovasi, keadilan, dan komunitas dunia
-
Saling percaya dalam perilaku
SUMBER
TUGAS KE-2 KORUPSI
TUGAS KE-2
KORUPSI
Singkatan
'KKN' adalah salah satu singkatan yang akrab bagi masyarakat Indonesia. Sering
kalau ada protes anti-pemerintah, singkatan KKN ini didengar dan diteriakkan
oleh para demonstran atau ditulis di atas spanduk-spanduk. KKN ini mengacu ke
korupsi, kolusi dan nepotisme dan - yang banyak mencemaskan mayoritas penduduk
Indonesia - telah menjadi bagian intrinsik atau sudah mendarah-daging di
pemerintah Indonesia, mungkin mencapai puncaknya selama rezim Orde Baru Presiden Suharto (1965-1998). Masalah korupsi politik di
Indonesia terus menjadi berita utama (headline) hampir setiap hari di media
Indonesia dan menimbulkan banyak perdebatan panas dan diskusi sengit. Di
kalangan akademik para cendekiawan telah secara terus-menerus mencari jawaban
atas pertanyaan apakah korupsi ini sudah memiliki akarnya di masyarakat
tradisional pra-kolonial, zaman penjajahan Belanda, pendudukan Jepang yang relatif singkat
(1942-1945) atau pemerintah Indonesia yang merdeka berikutnya. Meskipun demikian,
jawaban tegas belum ditemukan. Untuk sementara harus diterima bahwa korupsi
terjadi dalam domain politik, hukum dan korporasi di Indonesia (meskipun ada
beberapa tanda, yang dibahas di bawah, yang mengarah ke perbaikan situasi ini).
Kerangka
historis korupsi di Indonesia
Meskipun
terdapat banyak contoh korupsi dalam sejarah sebelumnya di Indonesia, kita
ambil sebagai titik awal kita rezim Orde Baru Presiden Suharto (1965-1998),
yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi mengesankan yang cepat dan berkelanjutan
(dengan Produk Nasional Bruto rata-rata 6.7 persen per tahun antara tahun
1965-1996), tapi juga terkenal karena sifat korupnya. Suharto memanfaatkan sistem
patronase untuk mendapatkan loyalitas bawahannya, anggota elit nasional dan
kritikus terkemuka. Dalam hal pertukaran peluang bisnis atau posisi politik
Suharto bisa mengandalkan dukungan mereka. Dengan Angkatan Bersenjata (termasuk
aparat intelijen) dan pendapatan sumber daya nasional sangat besar (yang
berasal dari produksi minyak pada 1970-an) yang dia gunakan, dia meraih
kedudukan puncak dalam sistem politik dan ekonomi nasional, menyerupai kekuatan
patrimonial penguasa tradisional di masa pra-kolonial dulu.
Dalam
membuat kebijakan ekonomi, Suharto mengandalkan saran dan dukungan dari
sekelompok kecil orang kepercayaan di sekitarnya. Kelompok ini terdiri dari
tiga kategori: para teknokrat yang dilatih di Amerika Serikat (USA-trained technocrats),
nasionalis ekonomi (yang mendukung gagasan peranan besar pemerintah dalam
perekonomian) dan kroni kapitalis (yang terdiri dari anggota keluarga dan
beberapa konglomerat etnis Cina kaya). Pada saat itu, semua kategori ini
dituduh korup namun sebagian besar penekanan mengarah ke lingkaran kecil kroni
kapitalis (terutama anak-anak Suharto) yang merupakan penerima manfaat utama
dari skema privatisasi negara - maka mereka tidak disukai oleh pengusaha
nasional dan masyarakat - dan sering menjalankan monopoli bisnis besar yang
beroperasi dengan sedikit pengawasan atau pemantauan.
Salah
satu karakteristik penting korupsi selama Orde Baru Suharto adalah korupsi
tersebut agak terpusat dan dapat diprediksi. Investor dan pengusaha bisa
memprediksi jumlah uang yang harus mereka sisihkan untuk biaya-biaya 'tambahan'
dan mereka mengetahui mana orang-orang yang akan perlu mereka suap. Tapi juga ada taktik untuk
memasukkan kroni Suharto dalam kegiatan bisnis untuk mengurangi ketidakpastian
yang disebabkan oleh birokrasi yang amat ruwet. Pola yang sama ini ada di
tingkat lokal di mana gubernur dan komandan militer setempat menikmati hak
istimewa yang sama seperti di pusat namun selalu sadar bisa kena hukuman dari
pusat jika mereka mendorongnya (sogokan) terlalu jauh. Dengan era baru Reformasi, yang dimulai setelah jatuhnya Suharto
pada tahun 1998, situasi ini berubah.
Desentralisasi
Korupsi Indonesia
Situasi
ini berubah dengan drastis waktu setelah lengsernya Suharto pada 1998 program
desentralisasi daerah yang ambisius dimulai pada tahun 2001 yang meramalkan
pemindahan otonomi administrasi dari Jakarta ke kabupaten (bukan ke provinsi).
Program baru ini sejalan dengan tuntutan masyarakat tetapi memiliki efek
samping negatif pada pola distribusi korupsi. Penyuapan tidak lagi
'dikoordinasikan' seperti yang telah terjadi di masa lalu tapi menjadi
terpecah-pecah dan tidak jelas. Desentralisasi berarti bahwa pemerintah daerah
mulai membuat peraturan daerah baru (sering tidak dirancang dengan ketat) yang
memungkinkan para pejabat lainnya dari berbagai tingkat pemerintah dan lembaga
lainnya untuk berbaur dan meminta tambahan keuangan.
Menyadari
kebutuhan mendesak untuk mengatasi korupsi (karena merugikan investasi dan
umumnya mendorong adanya ketidakadilan terus-menerus dalam masyarakat), sebuah
badan pemerintah baru didirikan pada tahun 2003. Lembaga pemerintah ini, Komisi
Pemberantasan Korupsi (disingkat KPK), ditugaskan untuk membebaskan Indonesia
dari korupsi dengan menyelidiki dan mengusut kasus-kasus korupsi serta memantau
tata kelola negara (yang menerima kekuasaan yang luas).
Namun,
opini-opini mengenai prestasi KPK masih diperdebatkan. Para pengkritik
menekankan bahwa KPK lebih fokus untuk menangani tokoh profil yang lebih rendah
(tokoh kecil dan tidak penting), meskipun selama beberapa tahun terakhir,
terutama menjelang akhirnya pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, ada beberapa
kasus tokoh profil tinggi seperti menteri, pejabat kepolisian berpangkat
tinggi, hakim dan bendahara partai dari Partai Demokrat-nya Yudhoyono yang
telah diciduk. Sebagian keberhasilan dan keberanian KPK ini telah memicu
perlawanan - sebagian besar dari orang-orang yang pernah diusut atau
diinterogasi - mengklaim bahwa KPK sendiri adalah lembaga yang korup. Dalam
beberapa tahun terakhir sejumlah skandal telah muncul di mana anggota KPK -
konon - dijebak oleh petugas polisi senior dan ditangkap untuk melemahkan
kewenangan KPK.
SUMBER:
TUGAS KE-1 IKLAN DAN DIMENSI ETIS
TUGAS KE-1
IKLAN DAN DIMENSI ETIS
FUNGSI IKLAN SEBAGAI PEMBERI
INFORMASI DAN PEMBENTUK OPINI
1. Fungsi
Periklanan
Iklan
dilukiskan sebagai komuniskasi antara produsen dan pasar, antara penjual dan
calon pembeli. Dalam proses komunikasi iklan menyampaikan sebuah “pesan”.
Dengan demikian kita mendapat kesan bahwa periklanan terutama bermaksud memberi
informasi. Tujuan terpenting adalah memperiklankan produk/jasa.
Fungsi
iklan dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu berfungsi memberi informasi dan
membentuk opini (pendapat umum).
A.
Iklan berfungsi sebagai pemberi informasi
Pada
fungsi ini, iklan merupakan media untuk menyampaikan informasi yang sebenarnya
kepada masyarakat tentang produk yang akan atau sedang ditawarkan di pasar.
Pada fungsi ini, iklan memberikan dan menggambarkan seluruh kenyataan serinci
mungkin tentang suatu produk. Tujuannya agar calon konsumen dapat mengetahui
dengan baik produk itu, sehingga akhirnya memutuskan untuk membeli produk
tersebut.
B. Iklan berfungsi sebagai pembentuk opini
(pendapat umum)
Pada
fungsi ini, iklan mirip dengan fungsi propaganda politik yang berupaya
mempengaruhi massa pemilih. Dengan kata lain, iklan berfungsi menarik dan
mempengaruhi calon konsumen untuk membeli produk yang diiklankan. Caranya
dengan menampilkan model iklan yang persuasif, manipulatif, tendensus dengan
maksud menggiring konsumen untuk membeli produk. Secara etis, iklan manipulatif
jelas dilarang, karena memanipulasi manusia dan merugikan pihak lain.
2.
BEBERAPA
PERSOALAN ETIS PERIKLANAN
Ada
beberapa persoalan etis yang ditimbulkan oleh iklan, khususnya iklan
manipulative dan iklan pesuasif non-rasional yaitu :
Pertama,
iklan
merong-rong otonomi dan kebebasan manusia. Iklan membuat manusia tidak lagi
dihargai kebebasannya dalam menentukan pilihannya untuk memperoleh produk
tertentu. Banyak pilihan dan pola konsumsi manusia modern sesungguhnya adalah
pilihan iklan. Manusia didikte oleh iklan dan tunduk kepada kemauan iklan,
khususnya iklan manipultive dan persuasive non rasional. Ini justru sangat
bertentangan dengan inferati moral Kant bahwa manusia tidak boleh
diperlakukan hanya sebagai alat demi kepentingan lain diluar dirinya. Manusia
harus dihargai sebagai makhluk yang mampu menentukan pilihannya sendiri,
termasuk dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Pada fenomena iklan
manipulative, manusia benar-benar menjadi objek untuk mengeruk keuntungan
sebesar-besarnya dan tidak sekedar diberi informasi untuk membantunya memilih
produk tertentu. Yang menarik disini adalah bahwa manusia modern mengklaim
dirinya sebagai manusia bebas dan menuntut untuk dihargai kebebasannya. Adanya
berbagai pilihan yang terbuka dalam konsumsinya juga menandai kehidupan manusia
modern sebagai manusia bebas. Tetapi pihak lain, manusia adalah budak iklan, ia
tidak bisa hidup tanpa iklan bahkan dikte oleh iklan. Sejak kecil ia terpukau
oleh iklan yang mmpengaruhinya untuk membeli apa yang diiklankan, entah dengan
memaksa orang tuanya, memaksa suami atau istri, bahkan dengan tindakan jahat
sekalipun : mencuri, membunuh ibu kandung untuk membeli honda, dan seterusnya.
Kedua,
dalam
kaitan dengan itu iklan manipulative dan persuative non rasional menciptakan
kebutuhan manusia dengan akibat manusia modern menjadi konsumtif. Secara
ekonomis hal itu baik karena akan menciptakan permintaan dan ikut menaikkan
daya beli masyarakat.bahkan dapat memacu produktivitas kerja manusia hanya demi
memenuhi kebutuhn hidupnya yang terus bertambah dan meluas.namun dipihak lain
muncul masyarakat konsumtif, dimana banyak dari apa yang dianggp manusia
sebagai kebutuhannya yang sebenarnya bukan kebutuhan yang hakiki
Ketiga,
yang
juga menjai persoalan etis yang serius adalah bahwa iklan manipulative dan
persuative non rasional malah membentuk dan menentukan identitas atau ciri dari
manusia modern. Manusia modern merasa belum menjadi dirinya kalau belum
memiliki barang sebagimana di tawarkan iklan, ia belum merasa diri penuh kalau
belum memakai minyak rambut seperti diiklankan bintang film terkenal dan
seterusnya. Identitas manusia modern hanyalah identitas misal : serba sama,
serba tiruan, serba polesan dan serba instan. Manusia mengkonsumsi produk yang
sama, maka jadilah identitas manusia modern jadinya hanyalah rancangan pihak
tertentu di fabricated. Yang di pujapun lebih banyak kali adalah kesan luar,
polesan, kepura-puraan
Keempat,
bagi
masyarakat modern tingkat perbedaan ekonomi dan social yang tinggi akan
merong-rong rasa keadilan sosial masyarakat. Iklan yang menampilkan yang serba
mewah sangat ironis dengan kenyataan sosial, dimana banyak anggota masyarakat
masih berjuang sekedar hiup. Iklan yang mewah trampil seakan-akan tanpa punya
rasa solidaritas dengan sesama yang miskin.
3.
MAKNA ETIS MENIPU DALAM IKLAN
Entah
sebagai pemberi informasi atau sebagai pembentuk pendapat umum iklan pada
akhirnya membentuk citra sebuah produk atau bahkan sebuah perusahaan dimata
masyarakat. Citra ini terbentuk bukan terutama karena bunyi atau penampilan
iklan itu sendiri melainkan terbentuk oleh kesesuaian antara kenyataan sebuah
produk yang diiklankan dengan apa yang disampaikan dalam iklan itu, entah
secara tersurat ataupun tersira. Karena itu iklan sering dimaksudkan sebagai
media untuk mengungkapkan hakikat dan misi sebuah perusahan atau produk
Prinsip
etika bisnis yang paling relevan disini adalah prinsip kejujuran, yakni
mengatakan yang benar dan tidak menipu. Prinsip ini tidak hanya menyangkut
kepentingan banyak orang melainkan pada akhinya menyangkut kepentingan
perusahaan atau bisnis seluruhnya sebagai sebuah profesi yang baik. Namun
persoalannya adalah apa makna etis menipu disini. Sejauh man sebuah iklan
dikategorikn menipu dan dikutuk secara moral?
Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu lebih dahulu merumuskan arti menipu
secara moral. Pertama-tama kita harsu melihat perbedaan antara menipu dan
berbohonh. Dalam pemakaian sehari-hari keduanya sring disamakan atau bahkan
dicampur adukkan pengertiannya. Namun, sesungguhnya ada perbedaan besar antara
keduanya dengna implikasi moral yang mendalam, Menurut Kamus Bahasa Indonesia,
kata tipu mengandung pengertian perbuatan atau perkataan yang tidak jujug
(bohonh, palsu dan sebagainya) dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali atau
mencari untung. Dengan kata lain menipu adalah mengenakan tipu muslihat,
mengecoh, mengakali memperdaya, atau perbuatan curang yang dijalankan dengan
niat yang telah direncanakan. Dalam tindakan menipu ada niat sadar dari pelaku
untuk memperdaya dan mengecoh orang lain. Dari sudur pandang moral, menipu lalu
dilihat sebagai tindakan yang tidak jujur dengan maksud untuk memperdaya orang
lain. Karena itu menipu bertentangan dengan prinsip kejujuran yang karena itu
secara moral dinilai sebagai tidak baik dan terkutuk
Sebaliknya,
berbohong diartikan sebagai perkataan atau pernyataan yang tidak sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya. Bohong adalah mengatakan hal yang tidak benar, yaitu
apa yang dikatakan tidak sesuai dengan kenyataan. Bohong hanya terbatas pada tidak
sesuai apa yang dikatakan dengan kenyataan, bukan menyangkut tindakan atau
perbuatan. Yang lebih penting lagi, bohong sejauh tetap terbatas sebagai
berbohong dalam arti sebenarnya tersebut, tidak melibatkan niat atau maksud
apapun untuk memperdaya dan mengecoh orang tersebut. Tidak ada maksud apapun
untuk membuat orang lain melakukan sesuatu yng salah dengan mengikuti
kebohongan itu, kendati bisa saja orang lain pada akhirnya salah bertindak (dan
karena itu mengecoh) karena mempercayai perkataan yang tidak benar itu. Namun
yang paling pokok disini adalah bohong tidak melibatkan maksud atau niat subjek
untuk mengecoh orang lain, sedangkan menipu adalah sebaliknya melibatkan maksud
atau niat subjek. Karena itu, secara moral bohong bersifat netral. Bohong tidak
punya kualitas moral apapun. Karena bohong adalah hanya soal salah atau tidak
benarnya suatu ucapan. Ia hanya menyangkut benar tidaknya suatu pernyataan dari
segi fisik.
Dari
pengertian menipu dan berbohong diatasm dapat disimpulkan bahwa bohong dapat
menjadi menipu, tetapi tidak semua berbohong itu menipu. Bohong dapat menjadi
menipu kalau ucapan atau pernyatan yang tidak benar itu disertau dengan niat
untuk memperdaya orang lain. Karena itu tidak semua pernyataan dengan niat
untuk memperdaya orang lain. Karena itu tidak semua pernyataan atau ucapan yang
tidak benar berarti menipu.misalnya seorang ibu menyatakan kepada anakanya yang
masih balit bahwa bayi bisa ada dalam perut seorang ibu karena ibu itu makan
terlalu banyak, untuk sekedar menjelaskan bagaimana seorang ibu sampai
mengandung kepada anaknya yang masih kecil, bukanlah menipu, melainkan bohon.
Ini tidak punya kualitas moral apapun. Demikian pula iklan yang menyatakan
bahwa kendati ada banyak bebek di Indonesia, tetapi hanya satu Honda Bebek yang
terbaik, belum tentu dianggap menipu kalau dalam kenyataannya tidak benar,
hanya satu Honda Bebek terbaik. Pernyataan itu baru dianggap menipu, dan dengn
demikian secara moral dikutuk, kalau dimaksudkan untuk menipu konsumen.
Sehubungan
dengan itu perlu dibedakan antara menipu “positif” dan menipu “negatif”. Menipu
positif berarti secara sengaja mengatakan hal yang tidak ada dalam kenyataan
dengan maksud untuk memperdaya orang lan. Menipu negatif adaah secara sadar
tidak mengatakan (atau menyembunyikan) kenyataan yang sebenarnya (biasanya
kenyataan yang tidak baik atau berbahaya) sehingga orang lain terpedaya. Dengan
demikian, iklan yang membuat pernyataan yang salah atau tidak benar, tidak
sesuai dengan kenyataan dan memang dketahui tidak benar oleh pembuat iklan dan
produsen barang tersebut dengan maksud untuk memperdaya atau mengecoh konsumen
adalah sebuah tipuan dan karena itu harus dinilai sebgai iklan yang tidak etis.
Singkatnya, semua iklan yang di buat dengan melebih-lebihkan kenyataan sebenarnya
dari produk tertentu dengan maksud untuk memperdaya, menghasut, dan membujuk
konsumen untuk membeli produk itu dianggap sebagai iklan yang tidak etis.
Demikian pula iklan yang secara sengaja menyembunyikan kenyataan negatif
tertentu. Jelas telah melakukan penipuan. Sebaliknya iklan yang memberi
informasi yang salah, tanpa sadar atau tanpa mengetahuinya. Suatu kondisi yang
perlu di buktian buknlah iklan yang menipu melainkan hanyalah iklan yang
bohong. Karena itu secara moral tidak dikutuk. Namun apabila telah diketahui
bahwa apa yang dikatakan dalam iklan itu tidak sesuai dengan kenyataan antara
lain melalui pengaduan konsumen iklan semacam itu harus dicabut. Kalau
dibiarkan terus oleh biro iklan atau produsennya, itu berarti pihak biro iklan
dan produsen secara implicit memang bermaksud memperaya konsumen dan karena itu
selanjutnya dianggap iklan yang menipu, tidak etis, dan harus dikutuk secara
moral
Yang
jauh lebih sulit adalah bahwa dalam kenyataaan praktis tidak gampang menilai
sejauh mana sebuah iklan masih terbatas sebagai iklan yang bohong atau sudah
mengarah pada menipu sebabnya pihak biro iklan dan produsen bisa saja bekelit
bahwa mereka tidak punya maksud memperdaya konsumen. Jadi iklan mereka hanya
sekedar bohong bukan menipu. Juga ada iklan yang tidak memberi pernyatan yang
salah, jadi apa yang dikatakan dalam iklan memang benar tetapi ternyata
punya akibt menyesarkan dan memperdaya konsumen. Dalam hal ini kant membantu
kita dengan sebuah definisi menipu dari segi moral yang jauh lebih komprehensif.
Menurut Kant, menipu adalah memberi pernyataan yang salah secara sengaja
dengan maksud untuk memperdaya orang lan dan/atau kalau orang memberi
pernyataan telah berjanji untuk menyatakan apa yang sebenarnya atau kalau
pernyatan iti disampaikan kepada orang yang berhak mengetahui kebenarannya.
Jadi ada paling kurang tiga kondisi yang bisa di kategorikn sebagi menipu (1)
pernyataan yang salah secara sengaja dengan maksud untuk memperdaya orang lain
(2) pernyatan yang salah itu berkaitan dengan janji kepada pihak yang dituju
untuk menyatkan apa adanya (3) pernyataan salah itu diberikan kepada orang yang
berhak mengetahui kebenarannya. Contoh mengenai kategori pertama sudah jelas
Contoh
kategori kedua dan ketiga adalah pejabat pemerintah yang berjanji kepada wartawan
dan masyarakat untuk mengungkapkan secara tuntas dan benar suatu kasus yang
menghebohkan, ternyata pernyataan yang diberikan, tidak sesuai dengan
kenyataan. Jadi kendati pejabat itu tidak punya maksud untuk memperdaya
wartawan dan masyarakat Indonesia, tetapi karena dia sudah berjanji untuk
mengungkapkan kasus itu apa adanya. Maka ketika kenyataan tidak sesuai dengan
apa yang menurut wartawan dan masyarakat terjadi sebagaimana adanya. Ia telah
menipu.
4.
KEBEBASAN KONSUMEN
Teknologi komunikasi selalu berkembang mengikuti apa yang
diinginkan oleh manusia. Informasi dan pesan yang disampaikan semakin beragam.
Cara- cara penyampaiannya semakin beragam pula. Untuk membuat semua hal
tersebut tetap berada di koridor yang tepat, butuh suatu peraturan yang menjadi
landasannya.
Masyarakat sebagai konsumen dari produk- produk komunikasi harus
mendapat perlindungan dan pelayanan yang baik. Pemerintah yang bertanggung
jawab menjamin adanya hal tersebut harus mampu mengeluarkan regulasi yang
pro-masyarakat. Pemerintah harus mampu mengatur jalannya pemanfaatan teknologi
komunikasi yang tidak merugikan masyarakat.
Perlu ada tatanan kebijakan dan hukum yang tepat bagi
penyelenggaraan kegiatan komunikasi. Mengenai definisinya, antara kebijakan dan
hukum punya arti yang berbeda. Kebijakan adalah keputusan yang dibuat
pemerintah dan masyarakat untuk menentukan struktur media dan mengaturnya
sehingga mereka punya kontribusi yang bagus bagi masyarakat. Sementara hukum
adalah peraturan yang dibuat para legislatif dan diperkuat dengan dibentuknya
suatu lembaga negara.
Selain itu yang perlu ditekankan dalam media adalah menghindari
penyampaian informasi yang mengandung fitnah serta ketidaksenonohan. Fitnah
adalah suatu penulisan atau pemberitaan atau penginformasian yang isinya tidak
sesuai dengan kenyataan dan menghancurkan reputasi atau nama baik pihak
tertentu. Sedangkan ketidaksenonohan misalnya adalah munculnya kata- kata kotor
dalam media.
Peraturan tentang privasi juga perlu diperhatikan oleh media.
Media tidak boleh mengekspose terlalu dalam kehidupan seseorang atau
narasumber. Apalagi sudah di luar konteks informasi utama yang dicari untuk
bahan berita.
Mengenai persaingan pasar, banya pula berbagai peraturan yang
muncul. Hal ini sangat krusial karena media berperan menyampaikan informasi
kepada masyarakat luas. Informasi yang disampaikan harus kredibel, netral dan
bukan merupakan kepentingan dari pihak- pihak tertentu. Contohnya adalah
peraturan mengenai pembatasan kepemilikan stasiun TV. Di Amerika Serikat, suatu
grup media tidak boleh memiliki stasiun televisi atau beberapa stasiun televisi
yang apabila dijumlahkan punya pangsa pasar lebih dari 39%.
Berbagai peraturan ketat seperti yang diuraikan diatas merupakan
implikasi dari kebebasan yang sudah di dapatkan oleh media. Media harus
mempunyai rasa tanggung jawab dalam mengemban kebebasan itu dengan tetap
melakukan penyebarluasan informasi yang kredibel. Selain aturan, hal lain yang
krusial dan harus diperhatikan dalam aktivitas media adalah etika
Sumber
:
https://allofky.wordpress.com/2013/06/13/etika-bisnis-persoalan-dalam-iklan/
Langganan:
Postingan (Atom)